Sunday, October 17, 2010

Selalu Ada Alasan Untuk Mengucap Syukur

Berikut merupakan summary kotbah yang disampaikah di ibadah pagi yang disampaikan oleh Pdt. Kasdi Kho yang intinya adalah tentang mengucap syukur. Seringkali manusia sulit untuk mengucap syukur (apakah kita termasuk di antaranya?), dan beberapa alasan penyebabnya adalah:
1. tidak pernah merasa cukup/puas

Salah satu ilustrasi untuk memberikan gambaran betapa manusia tidak pernah merasa puas akan apa yang dimilikinya adalah kisah dari seorang tukang batu. Berikut ini adalah kisahnya...
Suatu hari hiduplah seorang tukang batu yang tidak pernah merasa puas dengan diri dan hidupnya. Suatu hari lewatlah ia di depan rumah seorang pebisnis yang kaya raya, memiliki rumah mewah yang besar, mobil dan banyak barang-barang berharga di dalam rumahnya. "Dia pasti seorang pebisnis yang hebat, andai saja aku dapat menjadi kaya raya seperti dirinya, tentu hidupku akan bahagia", kata tukang batu tersebut di dalam hati.
Betapa terkejutnya dirinya bahwa pada suatu hari dirinya secara tiba-tiba menjadi seorang pebisnis yang kaya raya, memiliki banyak uang dan harta kekayaan lainnya. Tidak lama kemudian, ia melihat seorang pejabat yang lewat. Pejabat itu diiring mobil pengawal, setiap mobil harus menyingkir dan membiarkan mobil pejabat tersebut lewat. Ketika pejabat tersebut turun dari mobilnya, orang-orang membungkuk untuk menghormatinya. Berpikirlah sang tukang batu tersebut "Seandainya diriku boleh menjadi pejabat, dan orang-orang boleh menghormati aku, pasti akan lebih menyenangkan lebih dari sekedar menjadi seorang pebisnis yang kaya"
Kisah sang tukang batu terus berlanjut...Pada suatu hari, tukang batu tersebut tiba-tiba diangkat sebagai seorang pejabat. Ia menikmati bepergian dengan mobil mewahnya, dikawal dengan mobil pengawal dan dihormati orang-orang. Pada suatu siang hari ketika pejabat tersebut harus menghadiri sebuah pertemuan penting, pejabat tersebut merasa sangat kepanasan, matahari saat itu bersinar dengan terik dan menyengat. Pejabat tersebut berpikir ketika melihat matahari yang menyengatnya, "matahari begitu hebat, bisa menyinari seluruh bumu, aku ingin menjadi matahari" dan secara tiba-tiba juga terwujudlah keinginan pejabat tersebut, pejabat tersebut berubah menjadi matahari.
Pejabat tersebut senang karena bisa berubah menjadi matahari, dan menyinari bumi, tapi tiba-tiba datanglah awan menutupi matahari tersebut sehingga sinar matahari tidak sampai ke bumi. Dan sekali lagi, matahari berkata, "Sungguh hebat awan ini, aku ingin menjadi awan", maka berubahlah matahari menjadi awan dan memberikan hujannya turun ke bumi. Namun awan merasa dirinya digerakkan oleh sebuah kekuatan yang membuat dirinya bergerak tak menentu, bahkan tak jarang kekuatan tersebut mencerai beraikan awan menjadi awan yang kecil-kecil. Kekuatan tersebut ternyata adalah angin dan kembalilah berkata sang awan "Aku ingin menjadi angin"
Berubahlah awan menjadi angin. Angin merasa bangga bisa membawa terbang atap rumah, mengangkat pohon dan ditakuti oleh orang-orang. Namun, angin melihat ada sesuatu yang tidak bisa digerakkannya, seberapapun kuat angin ini berhembus, benda tersebut tidak bergerak, dan benda tersebut adalah batu yang besar. Berkatalah angin " Aku ingin menjadi batu" dan berubahlah ia menjadi batu. Namun, pada saat ia angin sudah berubah menjadi batu, ia merasakan ada sesuatu yang menyakiti dirinya. Batu besar tersebut bertanya-tanya, siapa yang berani-beraninya menyakiti dirinya, dan ternyata ia mendapati seorang tukang batu sedang mencoba menghancurkan batu besar tersebut.

Betapa ilustrasi kisah seorang tukang batu tersebut dapat menunjukkan kepada kita, betapa seringnya kita melihat keadaan orang lain yang 'tampak'nya lebih baik dari diri kita, dan kita tidak pernah melihat bahwa sebenarnya diri kita ini sudah sangat beruntung dengan menjadi diri kita apa adanya.

2. Merasa apa yang kita terima adalah hal yang sudah sepantasnya kita terima
Pdt. Kasdi Kho kembali menceritakan sebuah ilustrasi kembali untuk menjelaskan point kedua tersebut. Ada seorang anak gadis, sebut saja namanya Ani, Ani ini suka membuat kue dan pada suatu hari ia memutuskan untuk membuat sebuah kue dan memberikannya kepada seorang nenek yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Ketika menerima kue tersebut, nenek tersebut sungguh merasa senang sekali, dan ia menngucapkan terima kasih dan memuji-muji Ani untuk kue buatannya tersebut dengan begitu bersemangatnya. Pada minggu berikutnya, Ani kembali membuat kue, dan kembali ia memberikan kue tersebut kepada nenek yang tinggal di dekat rumahnya. Nenek tersebut mengucapkan terima kasih kepada Ani, namun memang tidak sebegitu semangat saat nenek tersebut pertama kali menerima kue tersebut. Seminggu sudah berlalu, Ani masih sangat sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya, sehingga tidak sempat membuat kue. Ketika ia sempat membuat kue, Ani kembali membuat kue, dan mengantarkan kembali untuk sang nenek. Nenek tersebut berkata," Ani kog telat?Biasanya kan seminggu sekali Ani pasti kemari dan mengantar kue untuk nenek?". Ani pun meminta maaf, dan menjelaskan kesibukannya. Hari-hari berlalu dan Ani sangat sibuk dengan kuliahnya, kali ini ia benar-benar tidak ada waktu untuk membuat kue. Ketika Ani berangkat kuliah dan melewati rumah sang nenek, sang nenek berkata "Lho Ani, mana kue untuk nenek?kamu tidak membuat kue untuk nenek?"

Apa yang kalian dapat dari kisah ini?Ani tidak memiliki kewajiban untuk memberikan kue kepada sang nenek. Pada awal menerima kue, nenek benar-benar berterima kasih kepada Ani, tapi lama-kelamaan, nenek ini merasa kue itu adalah sesuatu yang memang seharusnya diterima oleh nenek tersebut, padahal BUKAN. Kue tersebut diberikan hanya karena kemurahan hati yang dimiliki oleh Ani. Kadangkala kita merasa seperti nenek tersebut, kita merasa berkat-berkat yang kita terima, adalah hal yang sudah sewajarnya dan seharusnya kita terima, maka dari itu kita sering mengomel dan mengeluh kepada Tuhan, ketika kita menerima masalah atau tidak menerima sesuatu seperti yang biasanya sudah kita terima.

3. Manusia lebih mementingkan pemberian daripada Sang Pemberi

Hal ini tampaknya cukup jelas bagi kita. Seringkali kita melihat apa yang diberikan dan bukan siapa yang memberikannya. Dalam kehidupan ini seberapa banyak kita melihat apa saja dan berapa banyak yang sudah diberikan Tuhan kepada kita, namun pernahkan kita memikirkan tentang Tuhan Sang Pemberi tersebut? Seringkali kita hanya memikirkan apa yang kita terima, padahal, hal yang lebih penting adalah kita boleh memiliki Tuhan sebagai sahabat kita, Bapa kita yang selalu bersama dengan kita dan itu JAUH LEBIH BERHARGA daripada segala pemberian yang boleh kita terima.

Apakah kita sudah mensyukuri hidup kita? Secara singkat, hal yang bisa kita lakukan agar kita bisa mengucap syukur adalah:
"MENGHITUNG ANUGERAH YANG KITA TERIMA LEBIH DARI KESULITAN/MASALAH YANG KITA TEMUI"
Beberapa prinsip hidup lainnya supaya kita boleh hidup dengan ucapan syukur adalah (Kolose 3:15-17):
1. Damai sejahtera Kristus memerintah dalam hati kita
Beberapa hal yang menyebabkan kita tidak pernah merasa damai adalah:
a. Penyesalan akan masa lalu
b. Kecemasan akan hari esok
c. Tidak adanya ucapan syukur untuk berkat Tuhan hari ini
2. Perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya dalam kita
Perkataan Kristus yang dimaksud adalah Firman Allah. Dalam firmanNya dituliskan bahwa kita tidak perlu merasa kuatir akan kehidupan ini, burung pipit dan bunga bakung saja dipelihara oleh Tuhan, terlebih lagi kita manusia yang begitu berharga dan dicintai oleh Tuhan.
3. Melakukan segala sesuatu di dalam nama Tuhan Yesus, melibatkan Tuhan dalam segala keputusan dan pekerjaan.


Alangkah hidup kita ketika kita dapat menjalaninya dengan penuh ucapan syukur, dibandingkan dengan bersungut-sungut. Sungguh hidup yang kita miliki ini adalah anugerah yang Tuhan telah sediakan bagi setiap kita, JADI marilah kita jalani hari-hari kita dengan penuh ucapan syukur:) Pilihan ingin menjalani hari dengan penuh ucapan syukur atau bersungut-sungut terletak di tangan kita. Manakah yang akan Anda pilih???Gbu...



No comments:

Post a Comment